Uya Kuya Beri Catatan Kritis soal Rencana Pencabutan Moratorium Pengiriman PMI ke Timur Tengah

 Uya Kuya Beri Catatan Kritis soal Rencana Pencabutan Moratorium Pengiriman PMI ke Timur Tengah

Surya Utama (Uya Kuya) Anggota DPR RI Fraksi PAN

Fraksipan.com — Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, Surya Utama atau Uya Kuya, memberikan sejumlah catatan penting kepada pemerintah terkait rencana pencabutan moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI bersama BP2MI, Sekjen Kemenaker, dan Atase Ketenagakerjaan di Arab Saudi, Uya mengingatkan bahwa pencabutan moratorium tidak boleh dilakukan tergesa-gesa tanpa memastikan perlindungan PMI secara menyeluruh.

“Kalau moratorium ini mau dicabut, harus dikaji lebih dalam lagi. Harus melibatkan kementerian dan lembaga terkait agar tata kelola yang baru bisa memberikan perlindungan jauh lebih baik kepada PMI,” ujar Uya Kuya di Gedung DPR RI, Senin (28/4/2025).

Uya menyoroti masalah besar yang masih mengakar di negara-negara Timur Tengah, yaitu sistem kafalah, yang memberikan kekuasaan besar kepada majikan terhadap pekerja migran. Menurutnya, sistem ini membuat PMI rentan terhadap eksploitasi, bahkan menyulitkan proses monitoring oleh perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri. Ia menyebut, jika seorang PMI sudah masuk ke rumah majikan, maka akses pengawasan menjadi hampir mustahil.

Dalam paparannya, Uya juga mengingatkan bahwa sebelumnya telah ada pembahasan di tingkat Kementerian dan Lembaga, termasuk di Menko Polhukam sejak 2018, mengenai syarat pencabutan moratorium. Ia menekankan bahwa tiga syarat utama harus dipenuhi: majikan di Arab Saudi harus berbadan hukum, penempatan harus dilakukan melalui perjanjian bilateral resmi (MOU), dan proses rekrutmen harus memakai sistem penempatan resmi atau channel system.

“Kalau tidak melalui syarat-syarat itu, PMI kita akan tetap berisiko tinggi menjadi korban eksploitasi dan kekerasan,” tegas Uya.

Ia juga menyoroti praktik ilegal yang masih marak, di mana PMI diberangkatkan secara non-prosedural lewat jalur calo dengan iming-iming uang muka, namun akhirnya berujung pada penempatan di wilayah konflik atau kondisi kerja yang tidak manusiawi. Hingga 2025, menurut catatan Uya, tercatat lebih dari 16 ribu kasus terkait ketenagakerjaan dan kekerasan terhadap PMI di Arab Saudi.

Uya menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa perbaikan kondisi kerja di Arab Saudi memang terjadi, tetapi sistem kafalah yang menjadi akar persoalan masih tetap dipertahankan. “Kalau sistem kafalah ini tetap ada, berarti relasi majikan dan pekerja masih timpang. Ini harus menjadi perhatian serius pemerintah sebelum mengambil keputusan mencabut moratorium,” pungkasnya.

editor

Artikel terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

11 − eight =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.